Salah seorang ayah mengatakan tentang salah seorang anaknya yang durhaka. Aku tidak tahan... hingga salam yang notabene adalah salam penghormatan dalam Islam tidak aku dapatkan darinya, padahal aku telah memberikan seluruh usiaku untuknya... Aku berangan-angan sekiranya aku tidak melihat pada hari ini. Ia lewat di hadapanku seakan-akan aku adalah barang, barang apa... Mungkin dianggap sebagai lemari yang terbiasa dilihatnya tapi tidak ditolehnya, atau tempat duduk yang bisa didudukinya. Ia tidak khawatir menabraknya.
Sekarang kenangan membuka lembaran-lembaran zaman... Lebih dari seperempat abad yang lalu, aku hampir mengalami kegilaan, ketika aku pura-pura tidak tahu teriakannya. Aku nyaris terbang karena gembira, ketika aku mengetuk pintu dan mendapatinya menungguku di belakangnya. Aku berpikir untuknya sebelum ia berpikir. Aku merealisasikan permintaannya sebelum ia merengekannya. Betapa seringnya aku menggendongnya di punggungku dan membawanya keliling ke semua penjuruvila sambil tertawa. Ibunya berteriak seraya mengatakan, "Cukup, wahai Abu Ahmad, sungguh engkau telah menghinakan dirimu." Pada hari itu aku tidak menghiraukan perkataannya.
Pada lembaran-lembaran masa lalu juga, aku mendapati pada hari lainnya, saat itu aku duduk di sampingnya untuk mengulang pelajarannya dan seakan-akan aku tidak melihat wajahnya kecuali hari itu. Aku duduk sambil memandangnya dan mengimpikannya sebagai tokoh besar yang masyhur.
Sementara hari ini, ia lewat tanpa mengucapkan salam?! Sampai sejauh ini. Bukan hanya dia saja, tapi juga dilakukan saudara-saudaranya, yaitu orang-orang yang karaena merekalah aku mengorbankan alam seluruhnya. Sejak ibu mereka, partner hidupku wafat, tidak ada satupun setelahnya kembal kepadaku di dunia ini selain Allah. Kerapkali aku mendapatkan ketidakramahan dan kedurhakaan mereka. Namun aku tidak pernah membayangkan bahwa urusannya sampai sejauh ini... Sungguh mereka menjauh dariku, dan menurutku bahwa kerenggangan di antara generasilah yang menjadi penyebabnya.
Masing-masing dari mereka telah menikah dan melalaikan aku. Aku katakan, ini adalah hak mereka dan tidak mengapa bila mereka menjalani kehidupan mereka tanpa dikeruhkan kejernihannya oleh orang sepertiku. Kemudian mereka meninggalkanku secara total dengan dipasrahkan kepada para pembantu yang membawaku dan membersihkan kotoranku. Itu tidak masalah... Tapi bila anakku pura-pura tidak mengenalku dengan tanpa sebab, maka ini yang aku tidak tahan.
Aku bolak-balik lembaran-lembaran masa lalu... inilah yang aku cari. Biarkanlah aku mengakui hingga aku bisa istirahat. Aku menanggung "biaya" apa saja yang dilakukan oleh kedua tanganku, dan aku minum dari gelas yang sama yang telah aku minumkan kepada orang lain. Aku sekarang berusia 70-an tahun dan kelumpuhan setelah mengalami kecelakaan mobil... Aku tidak memiliki keinginan kecuali membolak-balikkan lembaran-lembaran.
Apakah kalian tahu orang lain yang telah aku "minumi" dari gelasku? Mereka adalah ayah dan ibuku. Benar, sungguh aku telah memperlakukan mereka suatu hari bahwa mereka adalah orang lain. Setelah aku besar dan menjadi seorang pemuda, ayahku ingin menikahkan aku dengan seorang gadis yang memiliki agama dan kedudukan, namun aku menolak keinginannya. Bahkan akau mengolok-oloknya dan menikah dengan orang yang aku sukai. Aku pergi dari kota di mana ia tinggal di sana sehingga aku kabur darinya setelah beliau tua. Nyaris aku tidak pernah mengunjunginya kecuali setalah tiga tahun, dan beliau lumpuh seperti aku saat ini. Namun hatiku yang keras menjadikan aku tidak peduli. Bahkan kaum kerabat kami menghubungiku supaya aku mengunjunginya. Tapi, jawabanku kepada mereka, "Apakah kalian menginginkan aku meninggalkan pekerjaanku agar aku terus duduk di sampingnya?" Ketika kesempitan hidup menderanya dan meminta bantuan kepadaku, maka aku berdalih dengan seribu alasan hingga aku lari darinya dan menunggu kematiannya dengan lebih panas daripada bara api hingga aku mewarisi hartanya, karena akulah anak tunggalnya.
Sekarang, apakah anak-anakku menunggu kematianku? Mungkin. Tidak ada sedikitpun yang aku inginkan selain bertaubat kepada Allah SWT.
Kisah ini dikutip dari buku "Balasan Sesuai Perbuatan ~43 Kisah Nyata Akibat Durhaka Kepada Orang Tua~" yang ditulis oleh Ibrahim bin Abdullah al-Hazimi
Sekarang, apakah anak-anakku menunggu kematianku? Mungkin. Tidak ada sedikitpun yang aku inginkan selain bertaubat kepada Allah SWT.
Kisah ini dikutip dari buku "Balasan Sesuai Perbuatan ~43 Kisah Nyata Akibat Durhaka Kepada Orang Tua~" yang ditulis oleh Ibrahim bin Abdullah al-Hazimi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar