Selasa, 10 Maret 2015

Wajah yang Kukenali


Sampai hari ini, jam ini, dan detik ini, aku belum pernah melihatnya lagi. Sudah lebih dari 3 tahun kami tidak pernah bertemu. Kisahku tak seperti Rangga dan Cinta yang terpisah selama kurang lebih 10 tahun, tanpa ada jejak, dan tanpa ada kabar. Aku merindukan seorang sahabat yang dulunya sangat mendukungku ke jalan terbaik. Dialah sosok yang semakin lama semakin kurindukan. Meskipun kami aktif berkomunikasi lewat media sosial, kami sudah tidak pernah bertemu selama 3 tahun.

Aku tahu apa yang dia lakukan selama 3 tahun ini. Begitupun dengannya, dia tahu apa yang kulakukan selama 3 tahun ini. Hingga hari ini, di jam dan detik ini, hal yang selama ini kukhawatirkan pun terjadi. Komunikasi kami terputus. Entah apa yang menjadi penyebabnya.
Seperti biasa aku memberinya ucapan salam ke akun Line miliknya. Tapi tak ada balasan. Biasanya, ia akan cepat menjawab setiap salam dariku. Bahkan tak jarang, dialah yang terlebih dulu mengirimkan salam padaku.

Kupandangi langit. Kumpulan awan hitam mulai merayap perlahan mendekati langit yang cerah. Perlahan tapi pasti. Hingga langit berubah kelam. Nampaknya hujan akan segera turun. Entah kenapa, hatiku terasa gelisah. Sampai-sampai, aku merasa bahwa langit juga turut merasakan kegelisahanku. Aku merasa langit saat ini menggambarkan isi hatiku yang tadinya cerah menjadi kelam.

Aku seharusnya tidak boleh segelisah ini dan jangan sampai aku menangis karena hal ini.
Sudah tiga hari berlalu, dan belum ada satu pun kabar darinya. Aku pasrah dan hanya bisa berdoa semoga dia baik-baik saja di tanah perantauannya, Brunei Darussalam. 

Hingga keesokan harinya, ibuku memberitahuku sesuatu yang sangat kunantikan. Kabar darinya! Saat aku mendengar namanya disebut saja aku sudah sangat senang. Tapi, itu hanyalah kesenanganku yang sementara. Itu karena ibu berkata bahwa dia akan segera menikah.

“Ahmad akan segera menikah.”


Aku mencoba tersenyum. Air mataku tiba-tiba mengalir tanpa izinku. Aku berusaha untuk tetap tersenyum.
“Kenapa kamu menangis, Nak?”
“Aku menangis bahagia mendengarnya, Bu.”
“Ahmad akan segera pulang ke Indonesia untuk melakukan prosesi akad nikahnya. Mereka sudah berta’aruf[1] di Brunei.”
Aku yang selama ini mengkhawatirkannya, ternyata mengkhawatirkan hal yang sia-sia. Ternyata selama 3 hari yang lalu saat dia tidak memberi kabar, dia menjalani proses ta’aruf dengan calonnya.
“Ya Allah, ampuni hamba karena mencintai seseorang lebih dari cintaku padaMu.”gumamku dalam hati
Aku pun kembali ke kamarku. Ada pesan darinya.
Wa’alaikum salam…
Afwan (maaf) Zahra, selama 3 hari ini aku sibuk. Aku berta’aruf dengan seorang muslimah yang juga dari Indonesia, di sini. Mohon do’anya ya, Zahra.
Air mataku terus mengalir, sesekali kuseka dan menghela napas pendek. Aku pun membalas pesan darinya:
Aamiin…
Ibuku baru saja memberitahu tentang rencana kepulanganmu ke Indonesia untuk melangsungkan pernikahan. Aku sangat senang mendengar kabar bahagia ini. Semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi berkirim pesan dengannya. Sudah tidak pantas rasanya jika harus melakukannya lagi. Sebentar lagi, dia akan membangun sebuah rumah tangga. Aku tidak berhak ikut campur dan hanya bisa berdo’a untuk kebahagiaannya.

Dialah sahabatku. Namanya Ahmad Hanif. Dia sahabatku dari kecil. Memang, sewaktu kecil kami belum tahu adanya batasan-batasan yang harus dijaga antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, kami terbiasa bermain bersama waktu itu. Namun, sejak kami masuk di jenjang SMP, di mana aku dan dia masuk di pesantren yang berbeda, aku dan dia mulai menjaga jarak. Kami pun tahu batas-batas itu. Tapi, kami tetap akrab dan menjalin komunikasi. Itu karena kami tahu, hubungan silaturrahmi tidak boleh terputus antara satu dengan yang lain.

Hinnga masuk perguruan tinggi, pun demikian. Namun itu sebelum kami berada dalam satu kelompok KKN (Kuliah Kerja Nyata). Saat itu kami sangat senang karena bertemu dalam satu kelompok. Sejak saat itu, kami menjadi lebih akrab tentunya dengan tetap memegang teguh batas-batas antara laki-laki dan perempuan.

Tiga bulan merupakan waktu yang cukup untuk mengenali seseorang lebih dekat. Dalam waktu itu, aku pun tahu satu hal yang membuatku tercengang mendengarnya. Satu hal yang terucap dari mulutnya : “Baru pertama kali ini aku jatuh cinta pada seseorang.”
Kami yang saat itu berada di dekatnya kaget mendengar hal itu. Suasana hening sejenak. Tak ada respon apapun dari kami. Tak ada suara yang berkomentar. Entahlah, mungkin karena saking terkejutnya, tak ada satu orang pun yang bisa berbicara mengeluarkan pendapatnya. Dan hari itupun dibiarkan berlalu begitu saja. Tanpa tahu siapakah wanita beruntung yang dicintainya. Setelah hari itu, tak ada yang berani menanyakan tentang identitas wanita beruntung itu. Tidak ada, begitu pun denganku.
Semua berlalu seakan hari itu tak pernah terjadi. Semua seolah melupakan hari itu. Begitupun dengan dia. Dia seolah tidak mengingat apa yang dikatakannya saat itu. Dia tidak pernah lagi menggubris perkataannya hari itu. Apalagi kami, sebagai teman-temannya tidak akan pernah berani membuka pernyataannya waktu itu lalu menghujaninya dengan satu pertanyaan : “Siapa wanita beruntung itu?”
Hingga selesai ber-KKN. Tak ada jawaban untuk pertanyaan itu.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku pun tahu, kini dia akan segera menikah. Entah kenapa, hatiku terasa seperti teriris perlahan oleh sembilu. Aku merasakan kehilangan yang amat mendalam. Apa karena aku mencintainya? Apa karena aku terlalu merasa dekat dengannya? Apa karena aku terlalu sering memikirkannya? Apa karena aku merasa dialah satu-satunya yang terbaik yang kumiliki?

Selama ini aku mencintainya dalam diamku. Entah kapan rasa cinta itu mulai menyelubungi hatiku, aku pun tidak tahu. Tapi sungguh, aku menyadari bahwa rasa cinta itu hadir dalam diriku.

Tapi aku tidak tahu dengan dirinya. Apa yang ada di dalam hatinya. Hingga semuanya terasa jelas, bukan aku yang ada di hatinya. Selama ini, tak ada seorang pun yang mengisi setiap relung hatinya. Tentang ucapannya saat itu bahwa untuk kali pertama dia jatuh cinta pada seseorang, aku kini sudah menganggapnya angin lalu. Tak lagi mengganggapnya serius.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dua hari lagi, dia akan menikah. Dia kini sudah kembali ke Indonesia. Calon istrinya masih berada di Brunei Darussalam. Namun kabar bahagia itu berubah menjadi hal yang memilukan. 

“Calon istrinya yang bernama Fatimah, tiba-tiba memutuskan untuk membatalkan pernikahannya!” ucap ibuku yang memberitahukan hal ini kepada ayahku.
Aku mendengarnya di balik dinding pembatas antara ruang kamarku dan ruang keluarga. Aku terkejut mendengarnya.
“Kenapa bisa begitu?” tanya ayahku
“Calon istrinya ternyata lari bersama mantan suaminya yang dulu ke Malaysia.” jawab ibuku
“Astagfirullah!”
“Orang tua calon istrinya lalu meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar Ahmad.” tambah ibu lagi
“Kasihan Ahmad dan keluarganya.”
Aku tidak tahu, bagaimana harus mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya. Aku sangat sedih mendengar kabar itu, tapi di sisi lain, keegoisanku menghantui. Aku merasa sedikit lega. “Astagfirullahal’adzhim!” aku segera beristigfar.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sejak kejadian itu, tak ada lagi kabar dari Ahmad. Aku juga tidak berani menyapanya duluan. Aku tahu, dia mungkin masih merasa sangat terpukul atas kejadian yang menimpanya dan keluarganya.
Handphone-ku berdering. Ada pesan masuk dari Ahmad. 

Assalamu ‘alaikum…
Kami sekeluarga minta maaf yang sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang membantu proses pernikahanku yang seharusnya sudah dilangsungkan kemarin. Ternyata Allah berkehendak lain. Mohon do’anya sekalian, semoga aku dan keluarga diberi ketabahan menghadapi cobaan ini. Insya Allah, kami akan selalu meyakini bahwa Allah punya rencana di balik musibah ini, dan rencana Allah adalah rencana yang terbaik bagi hambaNya.
Wassalam…
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ahmad pun kembali ke Brunei Darussalam, melanjutkan pekerjaannya sebagai pengajar di salah satu Universitas ternama. Di sana dia menjadi dosen bidang Ilmu Tafsir Al-Qur’an. 

Semua orang yang berada di universitas tempatnya mengajar turut prihatin atas apa yang baru saja menimpanya. Dia bahkan harus meninggalkan jadwal mengajar demi tercapainya cita-cita agung nan mulia bagi seorang muslim, yaitu menyempurnakan sebagian agamanya dengan jalan pernikahan. Kini di hadapan seluruh pimpinan dan dosen dia meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kelalaiannya dalam mengajar.

“Ini bukan salahmu, Nak Ahmad.” ujar dekan fakultasnya
“Iya.” jawab salah satu dosen
“Allah adalah perencana terbaik, yakinlah bahwa Dia punya rencana terbaik untukmu di balik musibah ini.” tambah dekan fakultasnya
“Terima kasih banyak.” ujar Ahmad
---------------------------------------------------------------------------------------------------
“Tuhanku, berikan ku cinta yang kau titipkan bukan cinta yang kutanam pada seseorang”
Itulah sebaris lirik nasyid milik Maidany yang sering kudengarkan. Aku kini berusaha untuk melupakan perasaanku pada Ahmad. Karena aku tahu, aku telah tertipu oleh hawa nafsuku sendiri. Mencintai seseorang dengan semu.

Waktu terus berjalan, dan terus mengalami perubahan. Begitupun diriku. Aku berusaha untuk menjadi lebih baik dari diriku yang kemarin. Aku juga kini sudah tidak pernah berkomunikasi dengan Ahmad. Bukan cuma aku, ayah, ibuku dan keluarga Ahmad pun sudah tidak pernah berkomunikasi. Bukan karena kami memutuskan hubungan silaturrahmi, tapi karena nomor kontak keluarga Ahmad nampaknya sudah tidak terpakai lagi. Jadi, kami pun tidak tahu bagaimana cara berkomunikasi lagi dengannya. Akun LINE milik Ahmad pun sudah tidak aktif begitupun akun di sosial media lainnya. Ahmad dan keluarganya seolah ditelan bumi. Tak ada kabar, tak ada celah untuk bisa berkomunikasi.
Aku hanya perlu fokus pada diriku sendiri. Memperbaiki apa yang harus kuperbaiki, dan menyiapkan apa yang harus kusiapkan. Tentu saja untuk bekalku nanti.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah 3 tahun berlalu sejak musibah yang menimpa Ahmad dan keluarganya. Umurku yang terus bertambah namun berkurang di hadapan Allah ini, sudah didesak untuk menikah. Aku juga sudah memiliki perkerjaan tetap yang insya Allah bisa menghidupiku di masa depan. 

Ayah dan ibu terus mendesakku untuk menikah. Aku hanya bisa pasrahkan semuanya pada Allah. Aku bekerja sebagai seorang tenaga kesehatan. Sebagai seorang dokter, aku memiliki tugas dan tanggungjawab yang cukup besar. Hari-hariku sibuk di rumah sakit. 

Semua yang kutemui tak pernah berubah ; pasien, keluarga pasien, perawat, dan teman sejawatku yang juga dokter. Mereka kebanyakan masih berusia belia. Sesekali aku memerhatikan beberapa orang perawat dan dokter, dan sekilas berpikir jika saja salah satu di antara mereka adalah jodohku.
Aku tersenyum kecil setiap kali aku memikirkan hal itu. Itu karena, selama ini, aku hanya menganggap mereka sebagai adik-adik yang harus kubina dan kubimbing.

Aku membutuhkan seseorang yang lebih mapan dan lebih dewasa dariku. Tapi itu hanya keinginanku semata, bukan dengan persetujuan dari Allah. Aku hanya bisa berdoa dan berusaha mengubah diri menjadi lebih baik.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hingga hari yang membahagiakan itu pun tiba.
Seorang kiai, yang pernah ayah tolong menunjukkan letak salah satu pesantren di kota ini datang ke rumah. Aku mendengar ayah sedang membicarakan tentang diriku yang sedang mencari calon pendamping hidup. Dengan sedikit gugup aku membawakan dua cangkir teh hangat untuk ayah dan sang Kiai.

“Ini dia, putri saya satu-satunya, Kiai.”
Kiai itupun mengalihkan pandanganya padaku. Aku mengangguk pelan seraya tersenyum padanya.
“Namanya Zahra Humaerah. Alhamdulillah, sekarang dia seorang dokter.”
Kiai itu hanya bergumam.
Aku pun pergi meninggalkan mereka berdua.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Setelah hari itu, tak ada apapun yang terjadi. Kata ayah, Kiai itu akan segera menghubungi jika beliau memiliki calon untukku. Tapi hari demi hari terus berlalu, bulan demi bulan. Hingga saatnya tiba.
Akhirnya, saat itupun tiba.
“Besok, ada ikhwan yang akan datang berta’aruf denganmu.” ujar ibuku
“Dia sholeh, seorang hafidz, dan lulusan luar negeri.” sambung ayahku
“Tak ada hal yang lebih membahagiakan bagi seorang wanita selain dipinang oleh lelaki sholeh yang dekat dengan Al-Qur’an dan dijaga oleh Rabb-nya.” jawabku
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pak Kiai dan istrinya beserta lelaki itu pun datang. Aku hanya bisa tertunduk begitupun dengan lelaki itu. Pak Kiai pun membuka proses ta’aruf kami. Begitu sakral dan khidmat.
“Namanya Ahmad Hanif. Dia seorang yatim piatu. Kedua orang tuanya dipanggil Allah lebih dulu. Dia kini bekerja sebagai pengajar di pesantren kami, dan juga dosen lepas di Universitas Islam.” ujar pak Kiai

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku mendengar nama itu kembali disebut di hadapanku. Hatiku bergetar.
Aku dan dia terus tertunduk. Sesekali kami mengangkat pandangan kami untuk menjawab pertanyaan yang diajukan masing-masing pihak dari kami. Tapi, pandangan kami tidak pernah bertemu.
Ayah dan ibu tidak terkejut melihat sosok Ahmad Hanid di hadapannya, itu artinya dia bukan Ahmad Hanif yang kukenal. Karena jika dia orang yang ku kenal, ayah dan ibu pasti akan terkejut jika tiba-tiba melihat sosok Ahmad yang selama 3 tahun ini menghilang.
Aku kini akan membangun cinta bersama orang yang baru saja kukenali, meskipun aku tahu aku pernah jatuh cinta pada orang yang juga bernama Ahmad Hanif. Bangun cinta itu ternyata lebih baik daripada jatuh cinta. Ada pepatah yang mengatakan bahwa kalau kita jatuh cinta, kita harus siap merasakan yang namanya sakit hati. Akupun pernah merasakannya saat tahu Ahmad akan menikah.
Akhirnya, tiba saatnya kami berpandangan. Betapa kagetnya aku ketika melihat wajahnya. Wajah yang selama ini kukenali. Wajah yang sangat tak asing dalam ingatanku. Dialah Ahmad Hanif yang selama ini mengisi relung hatiku. Meskipun kuakui, aku berusaha untuk menutup perasaanku itu rapat-rapat selama kurang lebih tiga tahun ini. 

Aku berbalik ke arah ayah dan ibu. Mereka tersenyum. Mereka ternyata sengaja tidak memberitahuku dan berpura-pura tidak terkejut melihat Ahmad.

“Ayah dan ibu sebenarnya sudah tahu kalau dia adalah Ahmad Hanif, sahabatmu.” bisik ibu pelan padaku
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ternyata selama ini, dialah orang yang ditakdirkan oleh Allah untukku. Kabar tentang pernikahannya, hingga sampai hilang kontak selama tiga tahun terakhir, merupakan cara Allah agar pada saat kami bertemu dengannya, kami sudah siap untuk membangun cinta dalam bahtera rumah tangga. Semoga Allah memberkahi kami, dan memberikan kami keturunan-keturunan yang sholeh dan sholehah.
Cinta yang pernah kutanam pada seseorang bernama Ahmad Hanif dan kututup rapat selama kurang lebih tiga tahun ini, kini kubangun kembali. Aku membangunkan cinta itu kembali, tapi aku tidak sendirian. Karena aku membangun cinta itu bersamanya sekarang.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 Penulis : Arini Isnani Preninka (alumni Mahasiswa Farmasi UIN Alauddin Makassar)






[1] Proses mempertemukan dua orang yang hendak dijodohkan dengan maksud agar saling mengenal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar