Sampai hari ini, jam ini, dan detik
ini, aku belum pernah melihatnya lagi. Sudah lebih dari 3 tahun kami tidak
pernah bertemu. Kisahku tak seperti Rangga dan Cinta yang terpisah selama
kurang lebih 10 tahun, tanpa ada jejak, dan tanpa ada kabar. Aku merindukan
seorang sahabat yang dulunya sangat mendukungku ke jalan terbaik. Dialah sosok
yang semakin lama semakin kurindukan. Meskipun kami aktif berkomunikasi lewat
media sosial, kami sudah tidak pernah bertemu selama 3 tahun.
Aku tahu apa yang dia lakukan selama
3 tahun ini. Begitupun dengannya, dia tahu apa yang kulakukan selama 3 tahun
ini. Hingga hari ini, di jam dan detik ini, hal yang selama ini kukhawatirkan
pun terjadi. Komunikasi kami terputus. Entah apa yang menjadi penyebabnya.
Seperti biasa aku memberinya ucapan
salam ke akun Line miliknya. Tapi tak ada balasan. Biasanya, ia akan cepat menjawab
setiap salam dariku. Bahkan tak jarang, dialah yang terlebih dulu mengirimkan
salam padaku.
Kupandangi langit. Kumpulan awan
hitam mulai merayap perlahan mendekati langit yang cerah. Perlahan tapi pasti.
Hingga langit berubah kelam. Nampaknya hujan akan segera turun. Entah kenapa,
hatiku terasa gelisah. Sampai-sampai, aku merasa bahwa langit juga turut
merasakan kegelisahanku. Aku merasa langit saat ini menggambarkan isi hatiku
yang tadinya cerah menjadi kelam.
Aku seharusnya tidak boleh segelisah
ini dan jangan sampai aku menangis karena hal ini.
Sudah tiga hari berlalu, dan belum
ada satu pun kabar darinya. Aku pasrah dan hanya bisa berdoa semoga dia
baik-baik saja di tanah perantauannya, Brunei Darussalam.
Hingga keesokan harinya, ibuku
memberitahuku sesuatu yang sangat kunantikan. Kabar darinya! Saat aku mendengar
namanya disebut saja aku sudah sangat senang. Tapi, itu hanyalah kesenanganku yang
sementara. Itu karena ibu berkata bahwa dia akan segera menikah.
“Ahmad akan segera menikah.”
Aku mencoba tersenyum. Air mataku tiba-tiba mengalir tanpa izinku. Aku berusaha untuk tetap tersenyum.
“Kenapa kamu menangis, Nak?”
“Aku menangis bahagia mendengarnya,
Bu.”
“Ahmad akan segera pulang ke
Indonesia untuk melakukan prosesi akad nikahnya. Mereka sudah berta’aruf[1]
di Brunei.”
Aku yang selama ini
mengkhawatirkannya, ternyata mengkhawatirkan hal yang sia-sia. Ternyata selama
3 hari yang lalu saat dia tidak memberi kabar, dia menjalani proses ta’aruf
dengan calonnya.
“Ya Allah, ampuni hamba karena
mencintai seseorang lebih dari cintaku padaMu.”gumamku dalam hati
Aku pun kembali ke kamarku. Ada
pesan darinya.
Wa’alaikum salam…
Afwan (maaf) Zahra, selama 3 hari
ini aku sibuk. Aku berta’aruf dengan seorang muslimah yang juga dari Indonesia,
di sini. Mohon do’anya ya, Zahra.
Air mataku terus mengalir, sesekali
kuseka dan menghela napas pendek. Aku pun membalas pesan darinya:
Aamiin…
Ibuku baru saja memberitahu tentang
rencana kepulanganmu ke Indonesia untuk melangsungkan pernikahan. Aku sangat
senang mendengar kabar bahagia ini. Semoga kalian menjadi keluarga yang
sakinah, mawaddah, warahmah.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sejak saat itu, aku tidak pernah
lagi berkirim pesan dengannya. Sudah tidak pantas rasanya jika harus
melakukannya lagi. Sebentar lagi, dia akan membangun sebuah rumah tangga. Aku
tidak berhak ikut campur dan hanya bisa berdo’a untuk kebahagiaannya.
Dialah sahabatku. Namanya Ahmad
Hanif. Dia sahabatku dari kecil. Memang, sewaktu kecil kami belum tahu adanya
batasan-batasan yang harus dijaga antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena
itu, kami terbiasa bermain bersama waktu itu. Namun, sejak kami masuk di
jenjang SMP, di mana aku dan dia masuk di pesantren yang berbeda, aku dan dia
mulai menjaga jarak. Kami pun tahu batas-batas itu. Tapi, kami tetap akrab dan
menjalin komunikasi. Itu karena kami tahu, hubungan silaturrahmi tidak boleh
terputus antara satu dengan yang lain.
Hinnga masuk perguruan tinggi, pun
demikian. Namun itu sebelum kami berada dalam satu kelompok KKN (Kuliah Kerja
Nyata). Saat itu kami sangat senang karena bertemu dalam satu kelompok. Sejak
saat itu, kami menjadi lebih akrab tentunya dengan tetap memegang teguh
batas-batas antara laki-laki dan perempuan.
Tiga bulan merupakan waktu yang
cukup untuk mengenali seseorang lebih dekat. Dalam waktu itu, aku pun tahu satu
hal yang membuatku tercengang mendengarnya. Satu hal yang terucap dari mulutnya
: “Baru pertama kali ini aku jatuh cinta pada seseorang.”
Kami yang saat itu berada di
dekatnya kaget mendengar hal itu. Suasana hening sejenak. Tak ada respon apapun
dari kami. Tak ada suara yang berkomentar. Entahlah, mungkin karena saking
terkejutnya, tak ada satu orang pun yang bisa berbicara mengeluarkan pendapatnya.
Dan hari itupun dibiarkan berlalu begitu saja. Tanpa tahu siapakah wanita
beruntung yang dicintainya. Setelah hari itu, tak ada yang berani menanyakan
tentang identitas wanita beruntung itu. Tidak ada, begitu pun denganku.
Semua berlalu seakan hari itu tak
pernah terjadi. Semua seolah melupakan hari itu. Begitupun dengan dia. Dia
seolah tidak mengingat apa yang dikatakannya saat itu. Dia tidak pernah lagi
menggubris perkataannya hari itu. Apalagi kami, sebagai teman-temannya tidak
akan pernah berani membuka pernyataannya waktu itu lalu menghujaninya dengan
satu pertanyaan : “Siapa wanita beruntung itu?”
Hingga selesai ber-KKN. Tak ada
jawaban untuk pertanyaan itu.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku pun tahu, kini dia akan segera
menikah. Entah kenapa, hatiku terasa seperti teriris perlahan oleh sembilu. Aku
merasakan kehilangan yang amat mendalam. Apa karena aku mencintainya? Apa
karena aku terlalu merasa dekat dengannya? Apa karena aku terlalu sering
memikirkannya? Apa karena aku merasa dialah satu-satunya yang terbaik yang
kumiliki?
Selama ini aku mencintainya dalam
diamku. Entah kapan rasa cinta itu mulai menyelubungi hatiku, aku pun tidak
tahu. Tapi sungguh, aku menyadari bahwa rasa cinta itu hadir dalam diriku.
Tapi aku tidak tahu dengan dirinya.
Apa yang ada di dalam hatinya. Hingga semuanya terasa jelas, bukan aku yang ada
di hatinya. Selama ini, tak ada seorang pun yang mengisi setiap relung hatinya.
Tentang ucapannya saat itu bahwa untuk kali pertama dia jatuh cinta pada
seseorang, aku kini sudah menganggapnya angin lalu. Tak lagi mengganggapnya
serius.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dua hari lagi, dia akan menikah. Dia
kini sudah kembali ke Indonesia. Calon istrinya masih berada di Brunei
Darussalam. Namun kabar bahagia itu berubah menjadi hal yang memilukan.
“Calon istrinya yang bernama
Fatimah, tiba-tiba memutuskan untuk membatalkan pernikahannya!” ucap ibuku yang
memberitahukan hal ini kepada ayahku.
Aku mendengarnya di balik dinding
pembatas antara ruang kamarku dan ruang keluarga. Aku terkejut mendengarnya.
“Kenapa bisa begitu?” tanya ayahku
“Calon istrinya ternyata lari
bersama mantan suaminya yang dulu ke Malaysia.” jawab ibuku
“Astagfirullah!”
“Orang tua calon istrinya lalu
meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar Ahmad.” tambah ibu
lagi
“Kasihan Ahmad dan keluarganya.”
Aku tidak tahu, bagaimana harus
mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya. Aku sangat sedih mendengar kabar
itu, tapi di sisi lain, keegoisanku menghantui. Aku merasa sedikit lega.
“Astagfirullahal’adzhim!” aku segera beristigfar.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sejak kejadian itu, tak ada lagi
kabar dari Ahmad. Aku juga tidak berani menyapanya duluan. Aku tahu, dia
mungkin masih merasa sangat terpukul atas kejadian yang menimpanya dan
keluarganya.
Handphone-ku berdering. Ada pesan masuk dari Ahmad.
Assalamu ‘alaikum…
Kami sekeluarga minta maaf yang
sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang membantu proses pernikahanku yang
seharusnya sudah dilangsungkan kemarin. Ternyata Allah berkehendak lain. Mohon
do’anya sekalian, semoga aku dan keluarga diberi ketabahan menghadapi cobaan
ini. Insya Allah, kami akan selalu meyakini bahwa Allah punya rencana di balik
musibah ini, dan rencana Allah adalah rencana yang terbaik bagi hambaNya.
Wassalam…
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ahmad pun kembali ke Brunei
Darussalam, melanjutkan pekerjaannya sebagai pengajar di salah satu Universitas
ternama. Di sana dia menjadi dosen bidang Ilmu Tafsir Al-Qur’an.
Semua orang yang berada di
universitas tempatnya mengajar turut prihatin atas apa yang baru saja
menimpanya. Dia bahkan harus meninggalkan jadwal mengajar demi tercapainya
cita-cita agung nan mulia bagi seorang muslim, yaitu menyempurnakan sebagian
agamanya dengan jalan pernikahan. Kini di hadapan seluruh pimpinan dan dosen
dia meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kelalaiannya dalam mengajar.
“Ini bukan salahmu, Nak Ahmad.” ujar
dekan fakultasnya
“Iya.” jawab salah satu dosen
“Allah adalah perencana terbaik,
yakinlah bahwa Dia punya rencana terbaik untukmu di balik musibah ini.” tambah
dekan fakultasnya
“Terima kasih banyak.” ujar Ahmad
---------------------------------------------------------------------------------------------------
“Tuhanku, berikan ku cinta yang kau
titipkan bukan cinta yang kutanam pada seseorang”
Itulah sebaris lirik nasyid milik
Maidany yang sering kudengarkan. Aku kini berusaha untuk melupakan perasaanku
pada Ahmad. Karena aku tahu, aku telah tertipu oleh hawa nafsuku sendiri.
Mencintai seseorang dengan semu.
Waktu terus berjalan, dan terus
mengalami perubahan. Begitupun diriku. Aku berusaha untuk menjadi lebih baik
dari diriku yang kemarin. Aku juga kini sudah tidak pernah berkomunikasi dengan
Ahmad. Bukan cuma aku, ayah, ibuku dan keluarga Ahmad pun sudah tidak pernah
berkomunikasi. Bukan karena kami memutuskan hubungan silaturrahmi, tapi karena
nomor kontak keluarga Ahmad nampaknya sudah tidak terpakai lagi. Jadi, kami pun
tidak tahu bagaimana cara berkomunikasi lagi dengannya. Akun LINE milik Ahmad
pun sudah tidak aktif begitupun akun di sosial media lainnya. Ahmad dan
keluarganya seolah ditelan bumi. Tak ada kabar, tak ada celah untuk bisa berkomunikasi.
Aku hanya perlu fokus pada diriku
sendiri. Memperbaiki apa yang harus kuperbaiki, dan menyiapkan apa yang harus
kusiapkan. Tentu saja untuk bekalku nanti.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah 3 tahun berlalu sejak musibah
yang menimpa Ahmad dan keluarganya. Umurku yang terus bertambah namun berkurang
di hadapan Allah ini, sudah didesak untuk menikah. Aku juga sudah memiliki
perkerjaan tetap yang insya Allah bisa menghidupiku di masa depan.
Ayah dan ibu terus mendesakku untuk
menikah. Aku hanya bisa pasrahkan semuanya pada Allah. Aku bekerja sebagai
seorang tenaga kesehatan. Sebagai seorang dokter, aku memiliki tugas dan
tanggungjawab yang cukup besar. Hari-hariku sibuk di rumah sakit.
Semua yang kutemui tak pernah
berubah ; pasien, keluarga pasien, perawat, dan teman sejawatku yang juga
dokter. Mereka kebanyakan masih berusia belia. Sesekali aku memerhatikan
beberapa orang perawat dan dokter, dan sekilas berpikir jika saja salah satu di
antara mereka adalah jodohku.
Aku tersenyum kecil setiap kali aku
memikirkan hal itu. Itu karena, selama ini, aku hanya menganggap mereka sebagai
adik-adik yang harus kubina dan kubimbing.
Aku membutuhkan seseorang yang lebih
mapan dan lebih dewasa dariku. Tapi itu hanya keinginanku semata, bukan dengan
persetujuan dari Allah. Aku hanya bisa berdoa dan berusaha mengubah diri menjadi
lebih baik.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hingga hari yang membahagiakan itu
pun tiba.
Seorang kiai, yang pernah ayah
tolong menunjukkan letak salah satu pesantren di kota ini datang ke rumah. Aku
mendengar ayah sedang membicarakan tentang diriku yang sedang mencari calon
pendamping hidup. Dengan sedikit gugup aku membawakan dua cangkir teh hangat
untuk ayah dan sang Kiai.
“Ini dia, putri saya satu-satunya,
Kiai.”
Kiai itupun mengalihkan pandanganya
padaku. Aku mengangguk pelan seraya tersenyum padanya.
“Namanya Zahra Humaerah.
Alhamdulillah, sekarang dia seorang dokter.”
Kiai itu hanya bergumam.
Aku pun pergi meninggalkan mereka
berdua.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Setelah hari itu, tak ada apapun
yang terjadi. Kata ayah, Kiai itu akan segera menghubungi jika beliau memiliki
calon untukku. Tapi hari demi hari terus berlalu, bulan demi bulan. Hingga saatnya
tiba.
Akhirnya, saat itupun tiba.
“Besok, ada ikhwan yang akan datang
berta’aruf denganmu.” ujar ibuku
“Dia sholeh, seorang hafidz, dan
lulusan luar negeri.” sambung ayahku
“Tak ada hal yang lebih
membahagiakan bagi seorang wanita selain dipinang oleh lelaki sholeh yang dekat
dengan Al-Qur’an dan dijaga oleh Rabb-nya.” jawabku
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pak Kiai dan istrinya beserta lelaki
itu pun datang. Aku hanya bisa tertunduk begitupun dengan lelaki itu. Pak Kiai
pun membuka proses ta’aruf kami. Begitu sakral dan khidmat.
“Namanya Ahmad Hanif. Dia seorang
yatim piatu. Kedua orang tuanya dipanggil Allah lebih dulu. Dia kini bekerja
sebagai pengajar di pesantren kami, dan juga dosen lepas di Universitas Islam.”
ujar pak Kiai
Untuk pertama kalinya setelah sekian
lama, aku mendengar nama itu kembali disebut di hadapanku. Hatiku bergetar.
Aku dan dia terus tertunduk.
Sesekali kami mengangkat pandangan kami untuk menjawab pertanyaan yang diajukan
masing-masing pihak dari kami. Tapi, pandangan kami tidak pernah bertemu.
Ayah dan ibu tidak terkejut melihat
sosok Ahmad Hanid di hadapannya, itu artinya dia bukan Ahmad Hanif yang
kukenal. Karena jika dia orang yang ku kenal, ayah dan ibu pasti akan terkejut
jika tiba-tiba melihat sosok Ahmad yang selama 3 tahun ini menghilang.
Aku kini akan membangun cinta
bersama orang yang baru saja kukenali, meskipun aku tahu aku pernah jatuh cinta
pada orang yang juga bernama Ahmad Hanif. Bangun cinta itu ternyata lebih baik
daripada jatuh cinta. Ada pepatah yang mengatakan bahwa kalau kita jatuh cinta,
kita harus siap merasakan yang namanya sakit hati. Akupun pernah merasakannya
saat tahu Ahmad akan menikah.
Akhirnya, tiba saatnya kami
berpandangan. Betapa kagetnya aku ketika melihat wajahnya. Wajah yang selama
ini kukenali. Wajah yang sangat tak asing dalam ingatanku. Dialah Ahmad Hanif
yang selama ini mengisi relung hatiku. Meskipun kuakui, aku berusaha untuk
menutup perasaanku itu rapat-rapat selama kurang lebih tiga tahun ini.
Aku berbalik ke arah ayah dan ibu.
Mereka tersenyum. Mereka ternyata sengaja tidak memberitahuku dan berpura-pura
tidak terkejut melihat Ahmad.
“Ayah dan ibu sebenarnya sudah tahu
kalau dia adalah Ahmad Hanif, sahabatmu.” bisik ibu pelan padaku
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ternyata selama ini, dialah orang
yang ditakdirkan oleh Allah untukku. Kabar tentang pernikahannya, hingga sampai
hilang kontak selama tiga tahun terakhir, merupakan cara Allah agar pada saat
kami bertemu dengannya, kami sudah siap untuk membangun cinta dalam bahtera
rumah tangga. Semoga Allah memberkahi kami, dan memberikan kami
keturunan-keturunan yang sholeh dan sholehah.
Cinta yang pernah kutanam pada
seseorang bernama Ahmad Hanif dan kututup rapat selama kurang lebih tiga tahun
ini, kini kubangun kembali. Aku membangunkan cinta itu kembali, tapi aku tidak
sendirian. Karena aku membangun cinta itu bersamanya sekarang.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Penulis : Arini Isnani Preninka (alumni Mahasiswa Farmasi UIN Alauddin Makassar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar