Penggalan kisah

11 Juni 2014
"Namanya Ahmad Hanif"

Hari ini kami dikumpulkan dalam satu ruangan. Ruangan yang cukup besar untuk menampung sekitar 50 orang. Kami akan merapatkan hal mengenai persiapan studi tur ke Jepang minggu depan. Kami berjumlah 42 orang dan berasal dari berbagai jurusan. Studi tur ini merupakan program universitas kami dalam tingkat internasional. Ada beberapa negara yang telah ditentukan oleh pihak universitas setelah mereka menandatangani surat kesepakatan bersama MoU.
Dan kami yang berada dalam ruangan ini mendapatkan tempat di negeri matahari terbit, negeri bunga sakura, Jepang.
Kami dibagi ke dalam enam grup untuk enam wilayah yang berbeda. Pertama berpusat di ibukota Jepang, Tokyo, selanjutnya ada yang ditempatkan di Yokohama, Kanazawa, Kamakura, Nagoya, dan Kanagawa.

Saat semuanya sibuk berdebat masalah pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk studi tur ini, aku memandang ke sekeliling. Mataku lalu terpaku pada seseorang yang duduk paling belakang. Ia terlihat sangat tenang, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Di saat semua ribut mempermasalahkan pembiayaan studi, ia dengan tenang dan sabar mendengarkan. Namun, matanya tetap fokus dan terjaga.

Kualihkan pandanganku kembali ke depan. Mendengarkan penjelasan dosen yang akan membimbing kami di Jepang nantinya. Akhirnya, kami sampai pada keputusan bersama.
"Kita akan memilih ketua umum. Dia nantinya yang akan mengkoordinir setiap grup. Ketua umum akan ditempatkan di Tokyo.
Terpilihlah 10 orang yang menjadi kandidat ketua umum. Salah satunya adalah "si tenang" tadi. Meskipun ia sempat menolak dicalonkan jadi ketua umum, ia akhirnya pasrah juga.
"Si tenang" berbicara di urutan kedua. Entah kenapa saat ia berbicara, hatiku tersentak. "Sepertinya dia orang yang sangat baik." gumamku dalam hati. Berbeda dengan yang lainnya, saat ia berbicara, suasana terasa lebih tenang.
Aku tidak terlalu mengingat namanya. Tapi yang kutahu, hari ini ia telah membuat suasana menjadi lebih nyaman.

Alhasil, bukan dia yang terpilih jadi ketua umum. Tak apalah, mungkin karena itu belum saatnya bagi dia dan karena Allah Swt. telah merencanakan sesuatu yang lebih baik untuknya.
Setelah itu, kami pun dibagi ke dalam 6 grup. Aku mendapat tempat di Yokohama dan siapa sangka "si tenang" menjadi bagian dari grupku. "Namaku Ahmad Hanif".katanya memperkenalkan diri kepada kami berenam.

Kini aku bisa melihat raut wajahnya lebih dekat. Tenang. Sangat tenang.

"Untuk masing-masing wilayah, pilihlah salah seorang di antara kalian sebagai ketua grup."pinta dosen tersebut

Ahmad yang sempat kujuluki "Si tenang" tadi menjadi ketua di grup kami. Sedikit banyak dia tahu bahasa Jepang. Selain itu, ia juga bisa membedakan aksen orang Tokyo dan Kansai dalam berbicara.

Tunggu kami, Yokohama! gumamku dalam hati tersenyum
----------------------------------------////////////////////////----------------------------------------------------
12 Juni 2014
"Maafkan aku, Ahmad"

"Hamid!" panggilnya kepada salah seorang teman kami, yang sebenarnya bernama Khaerul. Alhasil, Khaerul pun tidak menanggapi panggilan Ahmad. Tentu saja itu karena tak ada satu pun dari kami yang bernama Hamid.
Ahmad menjadi malu sendiri. Meskipun sebenarnya aku menyadari bahwa ia sekilas berbalik ke arahku saat menyebut nama Hamid. Itu karena ia tahu bahwa aku juga teman dari Hamid. Dan saat itu juga ia sempat tertawa kecil. Tapi aku berpura-pura tidak melihatnya. Aku fokus pada acara yang sedang kami lihat.
"Khaerul!" pada akhirnya ia memanggil nama yang tepat.
Mereka pun membicarakan hal yang aku sendiri tidak terlalu ingin mengetahuinya. Yang jelas, hari ini aku bisa berkumpul bersama mereka semua.
Siluet tubuh Ahmad memperlihatkan ia sedang bergerak. Ia menekuk kedua lututnya lalu menyandarkan kedua tangannya di atas lutut. Ia menenggelamkan kepalanya di ruang antara tubuh dan lututnya.
Lalu ia mengangkat kepalanya kembali namun bukan untuk kembali menonton acara yang kami sedang lihat. Melainkan ia berbalik ke arahku! Lagi-lagi aku berpura-pura tidak menyadarinya. Mataku fokus pada apa yang sedang kami nonton bersama.
"Zahra." kudengar lembut suaranya memanggil namaku.
Meskipun ia mengatakannya dengan sangat pelan, aku bisa mendengarnya dengan jelas. Aku tetap fokus dan tidak menanggapi panggilannya. Karena aku tahu jika seseorang hanya memanggil kita dengan suara yang sangat pelan, bukan berarti ada satu hal yang benar-benar ingin ia sampaikan.
Kurasakan ia kembali menundukkan kepalanya.
Rasanya kuingin menanggapi panggilannya tadi, tapi kuurungkan. Karena tak ada hal yang benar-benar ingin ia katakan. Selain itu, jika memang ada hal yang ingin ia katakan, pastinya ia akan memanggil dengan sedikit lebih keras dan berulang-ulang. Seperti saat ia memanggil Khaerul.

Maafkan aku, Ahmad. ucapku dalam hati.
----------------------------------------////////////////////////----------------------------------------------------
13 Juni 2014
"Penjaga Al-Qur'an"

Setelah subuh mataku terjaga. Kulangkahkan kaki menuju teras depan rumah. Lantai kayu berderit mengiringi setiap langkahku. Aku melihat seseorang berselimutkan sarung dari balik jendela. Mengenakan penutup kepala dan sarung yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Itu nenek!
Kupanggil dia seraya tersenyum lalu duduk di sampingnya. "Udara pagi ini sangat dingin ya, Nek!" kataku membuka pembicaraan.
"Iya, sangat dingin." kata nenek seraya mengeratkan dekapannya. Ku arahkan pandanganku ke sekeliling. Hingga aku berhenti pada satu titik.
Aku menutup mata seraya menghafalkan surah pendek Rasanya sangat tenang, semua ayat tergambar dengan jelas dalam benakku. Kurang lebih 5 menit aku menyelesaikan beberapa ayat.
Saat kubuka mata, kulihat seorang lelaki telah duduk di kursi bambu depan rumah tetangga. Ia memegang sebuah mushaf kecil di tangan kanannya. Matanya menatap hampa ke depan dan mulutnya terus saja bergerak. Sesekali ia mengalihkan pandangannya kembali ke mushaf di genggamannya. Lalu melanjutkan kembali apa yang tadi ia lakukan.
Baru pagi ini, aku duduk di teras rumah dan kulihat kejadian ini. Apakah setiap pagi dia seperti ini? Beginikah aktifitasnya setiap hari? Sungguh mulia apa yang ia kerjakan! Setiap pagi ia mengulang-ulang hafalannya! batinku bergemuruh. Aku terkagum melihatnya.
Aku tak pernah menyangka di balik sikapnya yang amat biasa, ia benar-benar menggenggam al-Qur'an di hatinya. Dan tak henti-hentinya kuucapkan rasa syukur kepada Allah Swt.

Karena menjadikannya temanku.
----------------------------------------////////////////////////----------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar